Penjara Suci
Tahun 2002
adalah tahun pertama Ami duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP).
Atas perintah orang tuanya, Ami harus melanjutkan sekolah di pondok pesantren.
Orang tua Ami mempunyai alasan, mengapa Ami harus melanjutkan sekolah di
pesantren. Ami, anak perempuan yang manja dan sedikit nakal. Sebenarnya wajar
jika anak kecil melakukan kenakalan. Namanya juga anak kecil. Belum mengerti
betul mana yang harus dia lakukan dan mana yang harus dia hindari. Tapi,
kenakalan Ami membuat orang tua Ami resah dan khawatir dengan kehidupan Ami
kedepannya. Nah, dari sinilah orang tua Ami berpikir untuk kebaikan Ami, untuk
merubah sikap Ami yang manja dan sedikit nakal (bandel) itu. Jalan keluar yang
dipilih orang tua Ami yaitu dengan memasukkan Ami di pesantren. Orang tua Ami
berpikir dan berharap bahwa dengan memasukkan Ami di pesantren, dapat merubah
sikap Ami selama ini. Saat itu, Ami tidak tahu menahu soal pesantren. Tidak
tahu menahu bagamaina kehidupan di pesantren. Tidak tahu menahu dengan siapa
dia akan tinggal di pesantren. Tidak tahu pula mengapa Ami harus melanjutkan
sekolah di pesantren. Tanpa menolak, wajah polosnya mengangguk dan mulutnya
menjawab “ya” dengan senang ketika orang tuanya bertanya “Nak, ibu dan ayah
sekolahkan kamu di pesantren ya?”. Orang tua Ami bersyukur karena anak
sulungnya bersedia untuk disekolahkan di pesantren. Setidaknya, orang tua Ami
bisa sedikit tenang karena di pesantren nanti, Ami bisa lebih mendapat
perhatian yang ketat dari pengasuh pesantren.
Perjalanan dari
rumah Ami ke pesantren lumayan jauh dan memerlukan waktu berjam-jam untuk
sampai kesana. Sesampainya di pesantren, orang tua Ami menitipkan Ami kepada
pengasuh pesantren. Bukan sekedar menitipkan saja, tapi juga sedikit
membicarakan masalah Ami kepada pengasuh pesantren. Setelah itu, orang tua Ami
kembali ke rumah dan meninggalkan Ami di pesantren. Kehidupan pesantren mulai
dirasakan oleh Ami. Ami merasa kehilangan semua yang dia miliki di rumah. Tidak
ada televisi di pesantren. Padahal, Ami suka sekali menonton acara televisi.
Tidak ada kipas angin atau AC (air conditioner) di pesantren.
Padahal, Ami tidak suka dengan ruangan yang panas. Ami mulai merasakan
kegelisahan di hari pertama dia hidup di pesantren. Mungkin karena dia merasa
kehilangan banyak fasilitas yang biasa dia dapatkan di rumah dan ternyata tidak
dia dapatkan di pesantren. Bukan hanya fasilitas saja yang berbeda. Ami
merasakan perbedaan masalah pelajaran. Ketika di luar pesantren Ami tidak
pernah menerima pelajaran seperti mengaji kitab yang biasa disebut bandongan dan
sorogan. Tapi, di pesantren inilah Ami harus bergelut dengan kitab-kitab
yang asing baginya. Seiring berjalanannya waktu, Ami mulai melupakan
kegelisahannya. Kini Ami memiliki banyak teman di pesantren yang bisa
menghilangkan rasa gelisahnya. Emma adalah salah satu teman baik Ami. Bisa
dibilang mereka sekarang bersahabat. Ami mulai betah hidup di pesantren. Sikap
Ami pun berubah menjadi seorang anak yang alim dan menjadi pendiam, tidak
terlalu banyak bicara. Selama satu tahun, sejak orang tuanya mengantarkan Ami
ke pesantren, Ami belum pernah pulang ke kampung halamannya di Semarang.
Sebentar lagi
kenaikan kelas. Ami senang karena sebentar lagi dia bisa berlibur, bertemu
dengan orang tuanya dan kedua adiknya. Sehari sebelum pembagian rapor, Ami
dipanggil untuk menghadap pengasuh dindalem beliau. Pengasuh
pesantren menyuruh Ami untuk segera bersiap-siap pulang ke Semarang. Ami
bingung. Pengasuh melanjutkan perkataannya bahwa ayah Ami menyuruh Ami segera
pulang. Pengasuh pesantren juga berrkata bahwa rapor Ami sebaiknya diambil
setelah Ami pulang dari Semarang. Ami masih bingung, karena tidak adanya
kejelasan dan alasan mengapa Ami secara mendadak disuruh pulang. Akhirnya, Ami
pulang ke Semarang. Dia diantarkan tangan kanan pengasuh pesantren. Di
perjalanan, Ami masih bertanya-tanya, ada apa sebenarnya di rumah. Kenapa dia
harus pulang secara mendadak, sementara sebentar lagi pembagian rapor.
Sesampainya di
rumah, Ami disambut ayah dan kedua adiknya. Ibu Ami tidak terlihat di rumah.
“Ibu kemana,
yah?” tanya Ami.
“i..bu..di..ru..mah
sa..kit, Mi”. Sambil terbata-bata ayah menjawab pertanyaan Ami.
Ami terkejut
seketika itu. Ibu Ami terkena penyakit jantung. Selama Ami di pesantren, Ami
tidak pernah tahu bagaimana kondisi ibunya. Dia merasa ibunya sehat-sehat saja.
Saat ini, ibunya tengah mendapat perawatan di rumah sakit. Tanpa pikir panjang,
meskipun badan Ami masih lelah dan pegal-pegal karena perjalanan dari pesantren
ke Semarang yang lumayan jauh, Ami mengajak ayah untuk menemaninya bertemu ibu
di rumah sakit.
Kondisi ibu Ami
semakin memburuk. Lemah tak berdaya. Ami tak tega, tak kuasa melihat kondisi
ibunya. Semua keluarga sudah pasrah. Mereka serahkan semuanya kepada Yang Maha
Kuasa mana yang terbaik untuk ibu Ami. Sepanjang hari, Ami tak berhenti
mendoakan ibunya. Ami berdoa meminta kesembuhan ibunya. Tapi, Tuhan berkehendak
lain, Ibu Ami meninggalkan Ami, Ayah, kedua adik Ami serta keluarga besar Ami.
Semua menangis merasa kehilangan sosok ibu yang begitu lembut. Di saat Ami
telah menjadi remaja yang alim, gadis yang baik, ibunya justru meninggalkan
Ami. Perubahan sikap Ami itu belum sempat ditunjukkan kepada ibunya. Ami yakin,
meskipun ibunya sudah tidak bersama dia lagi, tapi ibunya pasti akan sangat
senang melihat Ami yang akhirnya menjadi anak yang baik dan alim sesuai harapan
orang tuanya dulu. Ami berjanji pada dirinya bahwa jika kelak dia sudah lulus
dari pesantren, dia akan menjaga ayah dan kedua adiknya setiap hari.
Liburan Ami
tidak seperti liburan anak-anak lainya. Ami mendapatkan cobaan harus
ditinggalkan oleh ibunya di usianya yang masih terbilang kecil. Selama di
rumah, setiap hari jumat pagi, Ami, ayah, dan adik-adiknya nyekar di
makam ibu Ami. Membacakan tahlil, mengirimkan doa supaya ibu Ami
ditempatkan di tempat yang layak oleh Allah.
***
Ami kembali ke
pesantren setelah dua bulan di rumah. Teman-teman Ami mengucapkan bela sungkawa
atas meninggalnya ibu Ami. Emma, sahabat Ami merangkul dan berbicara pada Ami
supaya sabar atas cobaan yang diberikan Allah kepadanya. “Allah menyimpan
sejuta rahasia di balik cobaan berat yang kemaren Ami alami”. Lanjut Emma.
Kesedihan Ami pun sedikit demi sedikit mulai terkikis oleh waktu dan dukungan
semangat dari teman-temannya di pesantren.
***
sumber:http://poetri-solow.blogspot.co.id/2012/10/cerpen_3.html
0 komentar:
Posting Komentar